Jumat, 19 Februari 2016
KEBERSAMAAN DALAM DUA ALAM
MA’IYAH FI DAARID DUNYA
(Kebersamaan di Rumah Dunia)
Ketika tawasul yang dilakukan murid-murid kepada guru mursyidnya membuahkan hasil, karena jalan ibadah dilakukan mengikuti aturan. Disamping bisa merontokkan hijab-hijab basyariah dan membuka tabir penutup mata sehingga pertemuan secara ruhaniah mendapat kemudahan, juga seorang murid sedikit-demi sedikit akan mengenali karakter (khususiah) guru-guru ruhaninya. Pertalian rasa yang dilakukan terus-menerus tersebut, meski dilakukan di tempat yang berbeda, jika landasan niatnya benar, maka seorang murid akan mendapatkan pencerahan dari rahasia kepedualin hati guru mursyidnya. Oleh karena itu, meskipun kebersamaan tersebut dilakukan di dalam dua dimensi yang berbeda, oleh karena dilakukan oleh hati yang sama, maka interaksi kasih itu akan membuahkan kenikmatan hakiki yang tiada terkira.
Itulah perjalanan ruhaniah, kenikmatan hakiki yang didapat semakin lama akan menumbuhkan rindu dan cinta. Pertama kepada guru-guru Mursyid yang suci sebagai orang tua asuh sejati, kemudian kepada sang maha Guru yang mulia, yaitu Nabi akhir zaman. Penghulu Nabi yang syafa’atnya ketika diturunkan di dunia menjadi minuman ruhani yang ditegukkan oleh para guru Mursyid kepada anak asuh yang sedang kehausan dalam perjalanan, akan menumbuhkan rasa cinta dan ma’rifat kepada Yang dicari sebagai tujuan yang paling utama, yaitu Ilahi Rabbi Sang Maha Pengasih.
Cinta hakiki, ketika telah semakin mematri di dalam hamparan isi hati, maka kerinduan seorang hamba kepada Sang Junjungan akan selalu muncul di dalam sanubari. Rindu yang mampu membangkitkan semangat pengabdian dan pengorbanan yang menggelora, maka halangan yang terpampang di depan menjadi tantangan yang harus ditundukkan. Kesulitan yang membelit menjadi latihan yang tidak sulit, musibah yang datang menjadi ujian yang dibutuhkan, bahkan kematian menjadi pintu pertemuan. Sebagai buah cinta yang dapat dipetik, maka perjalanan panjang di dalam pengembaraan terasa lebih ringan dan menyenangkan. Sebabnya, kenikmatan surgawi yang selalu terbayang di dalam harapan di saat pertemuan dan kebersamaan terkondisikan, seakan-akan terjadi di dalam kenyataan.
Kebersamaan di dalam kehidupan dunia tersebut dibagi dua bagian:
1. Ma’iyah bil Maknawiah, artinya: Apa saja yang dilakukan murid, baik ilmu pengetahuan, amal ibadah maupun akhlak karimah, adalah sesuatu yang diwariskan oleh para pendahulunya, yaitu para Sholihin, para Syuhada’, para Shiddiqqin dan para Nabiyyin. Semuanya itu diamalkan, baik di dalam pelaksanaan pengabdian secara vertikal maupun horizontal, mengikuti apa yang sudah dicontohkan oleh mereka. Itulah yang disebut oleh para ulama’ ahli thoriqoh dengan istilah “Robithotul A’mal”.
2. Ma’iyah bil Hissiyah atau kebersamaan di dalam rasa (Interaksi Ruhaniah). Artinya: pelaksanaan amaliah murid dalam mengimplementasikan ilmu pengetahuan dengan mengerjakan ibadah yang dihiasi dengan akhlak karimah, dilaksanakan dengan upaya menghadirkan guru-guru yang mulia di dalam rasa ruhaniah. Seakan-akan guru-guru itu datang mendampingi ibadah, baik sebagai teman yang baik, sebagai pembimbing ataupun sebagai saksi atas amalan yang sedang dikerjakan. Pendampingan itu layaknya sedang belajar secara berkesinambungan, dari para Sholihin, para Syuhada’, dan para Shiddiqqin sampai dengan kepada Rasulullah s.a.w yang demikian itu disebut dengan istilah “Robithotul Mursyid”.
Hal tersebut dilakukan, merupakan pelaksanaan perintah yang termaktub dari sebuah ayat. Sungguh benar Allah dengan segala firman-Nya yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama-sama dengan orang yang shiddiq”. (QS. at-Taubah/9; 119)
Maksud ayat, bahwa “Kebersamaan” orang-orang beriman dengan “ash-Shiddiq” di setiap kali mereka melaksanakan ibadah dan mujahadah di jalan Allah merupakan perwujudan pelaksanaan takwa dan sekaligus implementasi tawasul seorang hamba kepadaNya. Tawasul seperti yang dimaksud, tidak hanya dilaksanakan secara lahir saja, tetapi juga lahir dan batin, jasmaniah dan ruhaniah, maknawiah dan hissiyah.
Seorang penyair berucap;
Hijab ketika telah sirna
Maka dimensi zaman
dan dimensi ruang tidak berguna
Selanjutnya
Dua hati selalu bersama-sama
MA’IYAH FI DAARIL AKHIRAT
(Kebersaman di Rumah Akhirat)
Setelah sekian lama dalam kebersamaan di dunia fana, meski di dalam dua ‘ruang’ yang berbeda, maka sejak di alam barzah, kebersamaan itu menjadi nyata. Itulah kebersamaan yang sesungguhnya, merupakan buah ibadah yang dilakukan di dunia. Meski tidak dalam derajat yang sama, di alam baru (barzah) itu, seorang hamba tidak hidup sendirian selamanya. Di awal kedatangan di alam barzah, warga baru itu bahkan dijemput teman-teman di perbatasan dua alam, ditunggu sebagai tamu yang dihormati, maka setiap kebutuhan hidup sudah disediakan saat itu juga. Apakah orang mengira saat itu dia mati? Mati itu hanyalah pandangan orang hidup, karena mereka melihat daging dan tulang yang sudah tidak berdaya. Jasad kaku yang harus dimandikan, dikafani, dishalati dan dikubur. Mereka lupa bahwa setelah itu orang tersebut akan dihidupkan lagi, dipindahkan ke dalam alam lain, baik dengan derita di neraka atau dengan bahagia di surga.
Jika sebelum itu dia berjalan seorang diri, tidak mau bertawasul kepada para pendahulunya, tidak pernah ingat kepada Rasul dan para pengikutnya, tidak tabarrukan kepada para Auliya’ Allah, tidak mengharapkan syafa’at Nabinya, tidak mengakui jerih payah orang yang telah mempunyai kepedulian agamanya, maka setelah dihidupkan lagi di alam kubur itu, dia akan sendirian dengan siksa kubur yang sudah disiapkan baginya.
Adapun orang-orang yang mau bertawasul kepada Nabi dan kepada para wali, kepada guru-guru mursyid yang telah membimbing perjalanan ruhaninya. Sebagai buah ibadah itu, sejak di alam barzah dia menuai apa yang selama ini ditanam di dunia. Oleh karena selama hidupnya di dunia selalu bersama-sama dengan mereka, maka sejak itu sampai dengan di akherat, akan kembali bersama-sama pula. Firman Allah dalam QS. an-Nisa’ ayat 69 yang artinya: “Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi kenikmatan dari Allah, yaitu para Nabi, para Shiddiq…,(sampai akhir ayat)“
Namun demikian, kebersamaan di akherat tersebut, tidaklah pada tingkat derajat yang sama—karena yang dimaksudkan dengan an-Nabiyyin, ash-Shiddiqqin, asy-Syuhada’ dan ash-Sholihin, adalah tingkat derajat seorang hamba di hadapan Tuhannya. Mereka masing-masing akan mendapat fasilitas untuk bisa saling bertemu dan berkomunikasi.
Berkaitan firman Allah di atas (an Nisa’/69): ومن يطع الله والرسول.الآية para sahabat bertanya kepada Rasulullah s.a.w: “Bagaimana keadaan mereka ketika berkumpul di surga dan saling bertemu dan berkomunikasi? Rasulullah s.a.w bersabda:
“إِنَّ الأَعْلِيِّنَ يَنْحَدِرُوْنَ إِلى مَنْ هُوَ أَسْفَلُ مِنْهُمْ فَيَجْتَمِعُوْنَ فِى رِيَاضٍ فَيَذْكُرُوْنَ مَا أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ وَيَثْنَوْنَ عَلَيْهِ”
“Sungguh orang yang mempunyai tingkat derajat yang lebih tinggi turun kepada mereka yang berada di bawah derajatnya dan berkumpul di kebun-kebun saling bercerita tentang kenikmatan Allah yang sudah diberikan kepada mereka dan mereka saling memuji”. (Tafsir Ibnu katsir)
Sumber Klik Disini
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar