Kamis, 18 Februari 2016

Hukum Pernikahan Menurut Islam

Hukum Pernikahan Menurut Islam

Dalam kehidupan sehari-hari manusia sudah diatur oleh hukum baik itu hukum negara, hukum agama maupun hukum adat, semuanya sudah diatur sedemikian mungkin. Didalam hal perkawinan juga telah diatur menurut agamanya masing-masing, agama manapun telah mengatur hukum tentang perkawinan.



Tentang hukum melakukan perkawinan Ibnu Rusyd menjelaskan : segolongan Fuqoha, yakni jumhur (Mayoritas Ulama) berpendapat bahwa perkawinan itu hukumnya Sunnah. Golongan Zhahiriah berpendapat bahwa perkawinan itu hukumnya Wajib, sementara itu para ulam malikiyah mutakhirin berpendapat bahwa perkawinan itu hukumnya Wajib untuk sebagian orang, Sunnah untuk sebagian orang, dan Mubah untuk segolongan lainnya. Semua pendapat-pendapatan diatas berdasarkan pada kepentingan kemaslahatan dan pendapat-pendapat diatas juga sudah mempunyai alasan-alasan. Namun Ibnu Rusyd menambahkan bahwa perbedaan pendapat ini disebabkan adanya penafsiran apa bentuk kalimat perintah dalam ayat dan hadits yang berkenaan dengan masalah ini, haruskah diartikan Wajib, Sunnah, ataukah Mubah ?.  Sesuai dengan firman Allah Swt yang menyatakan :

“…Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak bisa berlaku adil maka kawinilah satu saja ”.

(QS. An-Nisa’  : 3). (Drs. H.M. Rifai, 1978 : 454 ).

“ Dan kawinilah orang-orang yang sendirian (janda) diantaramu, dan hamba sahaya laki-laki dan  hamba-hamba sahayamu yang perempuan”.

(Q.S. An-Nur : 32). (Drs. H.M. Rifai, 1978 : 454)



Hadits tentang penikahan adalah :



“Kawinlah kamu, karena sesungguhnya dengan kamu kawin, aku akan berlomba-lomba dengan umat-umat yang lain”. (Al-Baihaqi : 1229).



Terlepas dari pendapat para Imam / Madzhab diatas yang berbeda pendapat didalam mendefinisikan dan menafsirkan arti perkawianan. Berdasarkan Al-qur’an dan As-sunnah, islam sangat menganjurkan kepada kaum muslimin yang mampu untuk melangsungkan perkawinan. Namun demikian kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan perkawinan serta tujuan dari perkawinan, maka melaksanakan suatu perkawinan itu dapat dikenakan hukum Wajib, Sunnah, Haram, makruh ataupun Mubah            . (Sayyid Sabiq 6, 1996 : 22).



1.   Pernikahan hukumnya Wajib



Bagi orang yang sudah mampu untuk melangsungkan perkawinan, namun nafsunya sudah mendesak dan takut terjerumus dalam perzinaan wajiblah bagi dia untuk kawin, sedangkan untuk itu tidak dapat dilakukan dengan baik kecuali dengan jalan kawin.

Kata Qurtuby :



Orang bujang yang sudah mampu kawin dan takut dirinya dan agamanya jadi rusak, sedang tidak ada jalan untuk menyelamatkan diri kecuali dengan kawin, maka tidak ada perselisihan pendapat tentang wajibnya dia kawin. Allah berfirman :

“ Hendaklah orang-orang yang tidak mampu kawin menjaga dirinya sehingga nanti Allah mencukupkan mereka dengan karunia-Nya,” (QS. An-Nuur : 33).

“Dari Abdullah bin Mas’ud. Ia berkata : telah bersabda Rasulullah saw, kepada kami : hai golongan orang-orang muda! Siapa-siapa dari kamu mampu berkawin, hendaklah dia berkawin, karena yang demikian lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan, dan barang siapa tidak mampu, maka hendaklah ia bersaum, karena ia itu pengebiri bagimu”.(Ibnu Hajar Al-Asqalani, A Hassan, 2002 : 431).

2.   Perkawinan hukumnya Sunnah

adapun bagi orang-orang yang nafsunya telah mendesak lagi mampu kawin, tetapi masih dapat menahan dirinya dari berbuat zina, maka sunnahlah ia kawin. Kawin baginya lebih utama dari bertekun diri dalam ibadah, karena menjalankan hidup sebagai pendeta sedikitpun tidak dibenarkan islam. Thabrani meriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqash bahwa Rasulullah bersabda :

“ Sesungguhnya Allah menggantikan cara kependetaan dengan cara yang lurus lagi ramah (kawin) kepada kita”. (Sayyid Sabiq 6, 1996 : 23).

3.   Perkawinan hukumnya Haram

Bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi nafkah lahir dan batin kepada istrinya serta nafsunyapun tidak mendesak, haramlah ia kawin. Qurthuby berkata : “Bila seorang laki-laki sadar tidak mampu membelanjai istrinya atau membayar maharnya atau memenuhi hak-hak istrinya, maka tidaklah boleh ia kawin, sebelum ia terus terang menjelaskan keadaannya kepada istrinya atau sampai datang saatnya ia mampu memenuhi hak-hak istrinya. Allah berfirman :

“…Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan dengan tanganmu sendiri…” (QS. Al-Baqarah : 195). (Al-qur’an dan terjemahan, Departemen Agama RI, 2002 : 36)



4.   Perkawinan hukumnya Makruh

Makruh kawin bagi seorang yang lemah syahwat dan tidak mampu memberi belanja istrinya, walaupun tidak merugikan istri, karena ia kaya dan tidak mempunyai keinginan syahwat yang kuat. Juga makruh hukumnya jika karena lemah syahwat itu ia berhenti dari melakukan sesuatu ibadah atau menuntut sesuatu ilmu.

5.   Perkawinan hukumnya Mubah

Bagi laki-laki yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan segera kawin atau karena alasan-alasan yang mengharamkan untuk kawin, maka hukumnya mubah.

RUKUN DAN SYARAT PERNIKAHAN YG SAH MENURUT SYARA’



A. PENDAHULUAN

Pernikahan yang sah harus memenuhi rukun dan syarat. pernikahan yang sah harus memperhatikan larangan-larangan Pernikahan sebagai tersebut di bawah ini.

B. BEBERAPA ASAS HUKUM PERNIKAHAN

Dalam membicarakan larangan Pernikahan menurut hukum islam, ada 3 (tiga) asas yang harus diperhatikan yaitu: 1) asas absolut abstrak, 2) asas selektivitas dan asas legalitas. Asas absolut abstrak, ialah suatu asas dalam hukum perkawinan di mana jodoh atau pasangan suami istri itu sebenarnya sejak dulu sudah ditentukan oleh Allah atas permintaan manusia yang bersangkutan, Asas selektivitas adalah suatu asas dalam suatu Pernikahan di mana seseorang yang hendak menikah itu harus menyeleksi lebih dahulu dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa dia dilarangnya. Asas legalitas ialah suatu asas dalam perkawinan, wajib hukumnya dicatatkan.

C. ADA BERMACAM-MACAM LARANGAN PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM (ASAS SELEKTIVITAS)

Asas selektivitas dirumuskan dalam beberapa larangan perkawinan, dengan siapa dia boleh melakukan perkawinan dan dengan siapa dia dilarang (tidak boleh menikah).

Ada bermacam-macam larangan menikah (kawin) antara lain:

1. Larangan perkawinan karena berlainan agama;

2. Larangan perkawinan karena hubungan darah yang terlampau dekat;

3. Larangan perkawinan karena hubungan susuan;

4. Larangan perkawinan karena hubungan semenda;

5. Larangan perkawinan poliandri;

6. Larangan perkawinan terhadap wanita yang di Li’ an;

7. Larangan perkawinan (menikahi) wanita/pria pezina;

8. Larangan perkawinan dari bekas suami terhadap wanita (bekas istri yang ditalak tiga);

9. Larangan kawin bagi pria yang telah beristri empat, dijabarkan satu per satu sebagai berikut:

Ad.1. Larangan Perkawinan Karena Berlainan Agama

Dasar hukumnya Al quran surah II ayat 221, yang berbunyi. Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman, sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. (Al Baqarah ayat 221)

Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mukmin sebelum mereka beriman sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan perintah-perintahnya kepada manusia, supaya mereka mengambil pelajaran.

Dalam kaitan ini baik ditinjau Asbabun Nuzul dari Q.II: 221.

a. Ibnu Abi Murtsid Al Chanawi memohon izin kepada Nabi Muhammad SAW, agar dia dapat diizinkan menikah dengan seorang wanita musyrik yang cantik dan amat terpandang. Rasulullah belum dapat menjawab walaupun telah 2x ditanya. Sesudah Rasulullah berdoa kepada Allah, maka turunlah Q.II: 221. Yang melarang laki-iaki muslim menikahi wanita musyrik dan sebaliknya melarang wanita muslim menikahi laki-¬laki musyrik. (Rawahul Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan Al wahidi).

B. Abdullah bin Rawahaih mempunyai seorang hamba sahaya (budak) yang amat hitam. Pada waktu itu ia marah kepadanya dan menampar budak tersebut tetapi kemudian ia menyesal, lalu menceritakan kepada Nabi Muhamamd saw. Dan bertekad akan menebus penyesalan itu dengan menikahi budak yang hitam itu. Orang-orang pada waktu itu mencela dan mengejek tindakan Abdullah bin Rawahaih itu, tetapi dia tetap mau melaksanakan¬nya. Maka turunlah q. Ii: 221 sebagai pembenaran tindakannya itu:

“Bahwa seorang hamba sahaya (budak) yang muslimah lebih baik daripada wanita musyrik.”

Rawahul Al Wahidi dari Assu’udi dan berasal dari Abi Maliki, bersumber dari Ibnu Abbas.

Kedua kasus atau peristiwa tersebut di atas adalah asbabun alnuzzul (asbabun nuzul) dari Q.II: 221. Bahwa menikahi wanita budak (hamba sahaya atau pembantu) yang mukmin lebih baik daripada menikahi wanita nonmuslim (musyrik) walaupun dia cantik dan menarik (lihat juga fatwa MUI DKI Jaya tanggal 30 september 1986, tentang larangan perkawinan antaragama).

Ad.2.Larangan Perkawinan Karena Hubungan Darah Yang Terlampau Dekat

Dan sudut Ilmu Kedokteran (kesehatan keluarga), perkawinan antara keluarga yang berhubungan darah yang terlalu dekat itu akan mengakibatkan keturunannya kelak kurang sehat dan sering cacat bahkan kadang-kadang inteligensinya kurang cerdas, (lihatlah Dr. Ahmad ramali Jalan Menuju Kesehatan Jilid I, halaman 221).

A. Q. IV: 23a.

Dilarang karnu (laki-laki) rnenikahi ibu kandung karnu.

B. Q .IV: 23b.

Dilarang kamu (laki-laki) rnenikahi anak perernpuan kandungmu.

C. Q. IV: 23c.

Dilarang karnu (laki-laki) menikahi saudara kandungmu yang perempuan.

D. Q. IV: 23d.

Dilarang karnu rnenikahi anak perernpuan dari saudara laki-iaki kandungmu.

E. Q. IV: 23e.

Dilarang kamu menikahi anak perernpuan dari saudara perempuan kandungmu.

F. Q. IV: 23f.

Dilarang karnu (laki-laki) menikahi saudara kandung perempuan dari ibu kamu.

G. Q. IV: 23g.

Dilarang kamu (laki-laki) menikahi saudara kandung perempuan dari ayah karnu.

Larangan di sini bukan berarti larangan menikahi dalam arti formil saja (melalui prosedur akad nikah dengan ijab qabul), tetapi juga termasuk larangan menikahi secara materiil yaitu melakukan hubungan seksual.

Bilamana kita hubungkan dengan pengertian nikah menurut versi hanafi bahwa nikah itu dalam pengertian asli ialah hubungan seksual, sedangkan menurut syafi’ i nikah itu menurut pengertian majazi (metheportic) adalah hubungan seksual antara seorang wan ita dengan seorang pria.

Justru karena itu dalam pergaulan sehari-hari an tara ayah dengan anak perempuan yang sudah dewasa (baligh), demikian juga antara seorang anak laki-iaki dewasa dengan ibunya haruslah dijaga sedemikian rupa agar jangan sampai terlanggar norma hukum tuhan yang maha esa tersebut (lihat pos kota tanggal 26 desember 1979 dan tanggal 10 desember 1979).

Ad.3. Larangan Perkawinan Karena Hubungan Sesusuan

Masih dalam pembicaraan q. Iv: 23 terdapat aturan tentang larangan perkawinan karena ada hubungan susuan.

Maksudnya ialah bahwa seseorang laki-laki dengan wanita yang tidak mempunyai hubungan darah, tetapi pemah menyusu (menetek) dengan ibu (wanita) yang sarna dianggap mempunyai hubungan sesusuan, oleh karenanya timbul larangan menikah an tara keduanya karena alasan sesusu (sesusuan). Tentulah akan timbul persoalan lain yaitu beberapa kalikah menyusu itu atau berapa lama menyusu itu yang menimbulkan larangan menikah itu.

Ada dua pendapat tentang masalah tersebut.

Pendapat pertama mengatakan bahwa walaupun menyusu (menetek) itu satu kali saja tetapi sampai kenyang, maka telah timbul larangan perkawinan antara anak laki-iaki yang menyusu itu bahkan juga berlaku larangan bagi anak laki-iaki itu kelak dengan anak dari ibu (wanita) tempat dia menyusu itu pendapat ini adalah pendapat Hanafi beserta pengikut-pengikut mazhab hanafiah tersebut seperti juga, hambali dan imam malik.

Pendapat kedua ialah bahwa menyusu itu minimal 5 (lima) kali sampai kenyang setiap kali menyusu itu, dengan tidak dipersoalkan kapan waktu-waktu menyusu itu, apakah sehari itu menyusu lima kali itu, atau berjarak dua atau tiga hari atau seminggu. Maka barulah timbul larangan perkawinannya. Pendapat ini adalah pendapat imam syafi’i dengan para penganutnya.


Di samping itu berdasarkan penyelidikan dari sudut medis (ilmu kesehatan). Maka ternyata air susu ibu itu barn berproses menjadi darah dan daging untuk membentuk fisik bayi apabila~ menyusui itu minimal 5 (lima) kali sampai kenyang (iihat dr. Ahmadi ramali: jalan menuju kesehatan).

Berhubung dengan itu ada tendensi (iebih banyak) bahwa pendapat imam syafi’i itu didukung oleh para faqih (para sarjana islam) termasuk penulis.

H. Q. IV: 23h.

Dilarang kamu menikahi perempuan di mana kamu pernah menyusui.

I. Q. IV: 23i.

Dilarang kamu menikahi perempuan sesama susuan yaitu anall dari perempuan yang kamu pernah menyusu pada ibunya.I

Ad.4.a. Larangan perkawinan karena hubungan semenda

Hubungan semenda artinya ialah setelah hubungan perkawinan yang terdahulu, misalnya kakak adik perempuan dari istri kamu (laki-laki).

Laki-iaki (kamu) telah menikahi kakaknya yang perempuan atau adiknya yang perempuan maka timbullah larangan perkawin antara suami dari kakakladik perempuan itu dengan kakaknya ¬perempuan itu.

lazimnya di indonesia disebut kakak adik ipar, demikian juga hubungan antara anak tiri dengan bapak tiri, antara ibu tiri dengan anak tiri.

1. Q. Iv: 23j.

Dilarang kamu menikahi ibu istri kamu (mertua kamu yang perempuan).

K. Q. Iv: 23k.

Dilarang kamu menikahi anak tiri kamu yang perempuan yang ada dalam pemeliharaan kamu dari istri yang telah kamu campuri, dan apabila istri kamu itu belum kamu campuri maka tidak mengapa kamu menikahi anak tiri itu.

L. Q. Iv: 231.

Dilarang kamu menikahi istri anak shulbi kamu (menantu kamu yang perempuan).

M.Q. IV: 23m.

Jangan kamu menikahi saudara istri kamu yang perempuan, kecuali apabila kamu ceraikan yang lain (dilarang kamu menikahi dua orang perempuan bersaudara sekaligus).

Q. IV: 24.

Dihalalkan bagi kamu selain dari yang secara limitatif ditegaskan demikian (lihat juga q. Xxxiii: 24, 35 dan 37 peristiwa zaid bin haritsah dan zainab binti jahsyin.

Ad.4.b

Larangan perkawinan masih dalam rangka hubungan semenda, tetapi lebih bersifat khusus

larangan perkawinan masih dalam rangka hubungan semenda, tetapi lebih bersifat khusus atau istimewa, karena ayat Quran mengenal larangan ini diwahyukan Tuhan khusus untuk melarang perkawinan yang demikian ini yaitu, Q.IV: 22.



“jangan kamu nikahi perempuan yang telah dinikahi oleh

Bapak kamu, perbuatan itu adalah perbuatan jahat dan keji.”

larangan itu tentulah bersifat haram apabila dilanggar dengan ketegasan kata-kata atau petunjuk Tuhan, bahwa perbuatan itu adalah perbuatan yang jahat dan keji. Boleh ditafsirkan dengan tambahan kata-kata jahat dan keji itu berarti sangat terkutuk sekati, sangat dibenci dan dimarahi illahi seorang laki-iaki menikahi wanita yang telah dinikahi oleh bapaknya (ibu tirinya). Menurut penulis larangan ini ditujukan bukan saja perempuan yang masih dalam hubungan perkawinan dengan bapaknya maupun yang telah dicerai baik cerai hidup maupun mati.

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Abu qais bin Ai Aslat seorang Anshar yang saleh meninggal dunia. Anaknya melamar bekas istri abu qais itu (menikahi bekas ibu tiri).

Berkata wanita itu, “saya menganggap engkau sebagai anakku, dan engkau termasuk dari kaumku.” maka menghadaplah pemuda itu kepada rasul (nabi muhammad saw.) Bersabda rasul, “pulanglah engkau ke romanmu.” Setelah Rasullallah berdoa turunlah. Q. IV: 22 tersebut.

Rawahul ibnu hatim, ai taryabi dan ath thabrani bersumber dari zaid bin tsabit.

Riwayat lain dikemukakan bahwa di zaman jahiliyah anak laki-iaki yang ditinggal mati oleh bapaknya berhak atas diri ibu tirinya, apakah akan menikahinya sendiri atau menikahkan dengan orang lain.

Ketika abu qais bin al aslat meninggal muhsin bin qais (anak abu qais) menikahi bekas istri bapaknya itu dan tidak memberikan suatu warisan apa pun kepada wan ita itu.

Mengadulah wanita itu kepada rasululjah, mengenai haknya, setelah nabi muhammad saw. Berdoa turunlah q. Iv: 22 itu. Rawahul ibnu saad bersumber dari Muhammad bin ka’ab ai qarthi. 5)



Ad.6. Larangan perkawinan poliandri Q. IV: 24

Jangan kamu (laki-laki) menikahi seorang wanita yang sedang bersuami.

Dari sudut wan ita ketentuan itu adalah berupa larangan melakukan poliandri (seorang wanita yang telah bersuami menikah lagi dengan laki-iaki lain).

dalam suatu hadis rasul diriwayatkan oleh muslim, Abu Daud, Al Tirmidzi dan Al Nasai berasal dari Abi Said Al Chudri.

Dalam peperangan anthos dalam tahun ke-2 pada waktu itu kaum muslimin mendapat kemenangan dan berhasil memperoleh tawanan beberapa wanita ahlil kitab yang masih bersuami. Pada waktu wanita-wanita itu mau dinikahi oleh kaum muslimin mereka menolak dengan alasan masih bersuami.

Rasulullah saw. Menjawabnya berdasarkan Q.IV: 24 ini.

Demikian juga dalam peperangan hunain tahun ke-3 h juga para tawanan wanita yang masih bersuami akan dinikahi oleh kaum muslimin yang berhak atas tawanan itu mereka tidak mau. Rawahul ai thabrani bersumber dari ibnu abbas.?)

Ad. 6. Larangan perkawinan terhadap wanita yang di ii’ an

li’an diatur dalam Al Quran Surah XXIV ayat 4 dan 6 atau Surah An Nuur. (cahaya).

Akibat istri yang di ii’ an maka mereka bercerai untuk selama¬ lamanya, dan tidak dapat, baik rujuk lagi maupun menikah lagi an tara bekas suami istri itu. Sedangkan anak-anak yang dilahirkan hanya mempunyai hubungan dengan ibunya.

Ad.7. Larangan menikahi wanita pezina maupun laki-laki pezina

Tujuan perkawinan sifatnya adalah suci. Ia harus dicegah dari segala unsur penodaan, pengotoran karena itulah ia menjadi lembaga keagamaan. Haramlah yang tidak melindungi, mengawal dan mengamankan kesucian perkawinan. Perkawinan yang didasarkan sekuler saja (menurut apa adanya saja, kebudayaan saja) tidak. Akan dapat menjaga atau tidak akan mampu menjaga kesucian itu, seperti yang dijelaskan dalam q. Xxiv: 3 (surah ai nuur ayat 3).

Laki-iaki yang berzina tidak dapat menikahi perempuan baik¬baik. Ia hanya dapat menikahi wanita pezina pula atau wanita musyrik. Dan perempuan pezina tidak dapat dikawini laki-iaki baik¬baik. Dia hanya dapat menikahi dengan laki-iaki pezina pula atau laki-iaki yang musyrik. Demikian ditetapkan oleh allah dan diharamkan orang-orang mukmin melakukan di luar ketentuan allah tersebut.

Ad. 8. Larangan suami menikahi perempuan (bekas istrinya)

Yang ditalak tiga kecuali perempuan bekas istri tersebut telah dinikahi lebih dahulu oleh laki-iaki lain secara sah kemudian tertalak lagi serta habis tenggang waktu iddah (menunggu).

Lihat Q. II: 230 yang berbunyi sebagai berikut: Q. II: 230.

Kemudian apabila si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian apabila suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan bekas istri itu) untuk menikah kembali, apabila keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum allah.

Ad.9. Larangan kawin lagi bagi laki-laki yang telah mempunyai istri 4 (empat) orang

Seperti telah penulis uraikan pada bab I pengertian tentang perkawinan. Bahwa prinsipnya perkawinan menurut hukum islam itu adalah monogami. Tetapi demi untuk melindungi atau untuk kepentingan anak yatim yang berada di bawah pengawasan dan pemeliharaan kamu bolehlah menikahi ibu dati anak yatim tersebut dua, tiga atau maksimal 4 (empat) orang.

Berarti walaupun ada pengecualian kawin poligami tetapi dibatasi hanya sampai dengan 4 (empat) orang istti. Apabiia seseorang sudah mempunyai 4 (empat) orang istri haramlah baginya menikah lagi untuk kelimanya (istri keiima). Q. Iv: 3 juncto q. Iv: 127.

Disyaratkan dalam terjadinya akad nikah itu harus ada Ijab dan Qabul, dengan tidak ada jarak pemisah antara terjadinya Ijab dan diucapkan¬nya Qabul. Menurut ulama Malikiah tidaklah rusak akad itu dengan adanya pemisah yang sesaat, sebagaimana dapat dipisahkan dengan khutbah sebentar.17)

Menurut ulama Hanafiah, bagaimana andaikata ada lamaran seorang pria kepada seorang wanita, dengan mempergunakan surat (tulisan) kemudian wanita itu memanggil2 (dua) orang saksi lalu membacakan isi surat sambil berkata: aku nikahkan diriku kepada pelamar itu, maka sahlah perkawinan itu.

Sepakat para ulama bahwa akad nikah itu baru terjadi setelah dipenuhinya rukun-rukun dan syarat-syarat nikah, yaitu:

1. Adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perem¬puan;

2. Calon pengantin itu kedua-duanya sudah dewasa dan berakal (akil baligh);

3. Persetujuan bebas antara calon mempelai tersebut (tidak boleh ada paksaan);

4. Harus ada wali bagi calon pengantin perempuan;

5. Harus ada mahar (mas kawin) dari calon pengantin laki-iaki yang diberikan setelah resmi menjadi suami istri kepada istrinya;

6. Harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang adil dan laki-iaki islam merdeka;

7. Harus ada upacara ijab qabul, ijab ialah penawaran dari pihak calon istri atau walinya atau wakilnya dan qabul penerimaan oleh calon suami dengan menyebutkan besarnya mahar (mas kawin) yang diberikan. Setelah proses ijab dan qabul itu resmilah terjadinya perkawinan (akad nikah) antara seorang wanita dengan seorang pria membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia kekal dan berdasarkan ketuhanan yang maha esa.

8. Sebagai tanda bahwa telah resmi terjadinya akad nikah (perkawinan) maka seyogianya diadakan walimah (pesta pernikahan) walaupun hanya sekadar minum teh manis atau dengan sepotong kaki kambing untuk bahan sop;

10. Sebagai bukti autentik terjadinya perkawinan, sesuai dengan analogi q. Ii: 282 harus diadakan ilanun nikah (pendaftaran nikah), kepada pejabat pencatat nikah, sesuai pula dengan undang-undang no. 22 tahun ] 946 jo. Undang-undang nomor 32 tahun ]954 jo. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 (lihat juga pasal 7 kompilasi hukum islam (instruksi presiden ri no. ] tahun 1991. Pendaftaran ini penting untuk pembuktian bagi generasi berikutnya, baik tentang keturunan berupa anak, dan cicit maupun pembuktian tentang sahnya pewarisan kelak.

Menurut sajuti thalib, s.h., terjadinya nikah itu ialah sesudah dipenuhi semua baik rukun maupun syarat perkawinan, seperti adanya calon penga~tin perempuan dan calon pengantin laki-]aki persetujuan yang bebas di an tara keduanya, telah matang baik jiwa maupun raganya, disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi, dibayar mahar (mas kawin), ada izin dari orang tua wali, klimaksnya dengan aqdu al nikah (aqdunnikah) diiringi dengan ijab (penawaran) dari pihak calon pengantin perempuan serta qabul (penerimaan) dari pengantin laki-iaki.

Sunah hukumnya setelah ijab dan qabul tersebut se]esai diadakan walimah (beserta pengumuman tentang terjadinya nikah).19)



Hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan

Dengan terjadinya suatu akad nikah (perjanjian perkawinan),maka seorang laki-iaki yang menjadi suami memperoleh berbagai hak dalam keluarga, demikian juga seorang perempuan yang menjadi istri dalam suatu perkawinan memperoleh berbagai-bagai hak pula. Di samping itu mereka pun memikul pula kewajiban-kewajiban sebagai akibat dari mengikatkan diri dalam perkawinan itu.

Hak dan kewajiban suami istri itu ditegaskan, baik dalam Al quran maupun Hadis Rasul.Q. IV: 19

A. . . . . . . .

B. Hai suami janganlah kamu cari-cari kesalahan istri kamu itu dengan maksud hendak mengambil sesuatu harta benda yang telah pernah kamu berikan kepadanya.

C. Hai suami bergaullah kamu dengan istri kamu secara

pergaulan yang makruf (baik-baik).

D. Seandainya kamu telah merasa tidak senang kepada istri kamu itu, hendaklah kamu sadari bahwa boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu hal sedangkan allah menjadikan sesuatu hal tersebut kebaikan yang banyak.

A. Istilah makruf adalah istilah pokok yang dipakai untuk menerangkan iktikad baik untuk kejujuruan (tergoeder trouw) atau sebagai ayah yang baik (the good father) yang biasa kita temui dalam istilah¬istilah hukum perdata ,baik mengenai hubungan orang dengan orang maupun mengenai orang dengan orang di mana tersangkut di dalamnya bend a (harta kekayaan).26)

B. Dalam pengertian makruf (baik-baik) ialah an tara suami istri harus saling menghormati dan wajib menjaga rahasia masing¬masmg.

Dikatakan wajib karena haram hukumnya bagi suami membuka rahasia istrinya, demikian pula sebaliknya haram si istri membuka rahasia suaminya.

Dan amat terpuji suami istri yang menjaga rahasia mereka masing-masing, sebagaimana firman allah: Q. IV: 34

Demikian pula kita temui pemyataan-pemyataan kemarahan Tuhan kepada suami istri yang saling membuka rahasia mereka masing-masing kepada pihak ketiga, yang dijelaskan oleh rasul dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh muslim.

Sabda rasul:

Bahwa sesungguhnya di antara yang paling dimarahi Tuhan nanti di hari kiamat (akhirat), (yaumil mahsyar) ialah seorang suami yang diberi tahu oleh istrinya tentang rahasia istri itu, sedangkan oleh suami tadi rahasia itu disiarkannya.

Begitupun seorang istri yang diberi tahu oleh suaminya tentang rahasia suami itu, kemudian oleh istri itu dibukakannya kepada pihak lain.28)

Dalam salah satu hadis yang lain rasul menyatakan ketidaksenangan beliau kepada suami istri yang telah membuka rahasia masing-masing. Mereka yang membukakan rahasia masing-masing antara suarni istri kepada pihak lain sarna dengan setan (iblis).

Rawahul asmak binti yazid dan dibukukan oleh imam ahmad.29)

Seorang suarni/istri rnernbukakan rahasia rnasing-rnasing kepada pihak ketiga berarti tidak ada lagi unsur hormat-rnenghormati dan saling rnernberikan bantuan lahir dan batin.

Di dalarn Quran ditegaskan lagi oleh tuhan: Q. XXX: 21 (Ar Ruurn)

A. Dari pertanda-pertanda tuhan, ialah Tuhan rnenjadikan pasangan karnu dari diri karnu sendiri pasangan hidup karnu untuk kamu dapat hidup secara sakinah (tenterarn) dengan istri karnu itu.

B. Dan dari pertanda-pertanda tuhan, ialah tuhan menjadi.kan antara suami istri itu mawaddah (cinta-mencintai) dan rahmah

(satuan-menyantuni).30)

Mawaddah artinya cinta-mencintai antara suami istri yang meliputi pula arti saling memerlukan dalam hubungan seks. Umumnya hal tersebut sangat diperlukan oleh pasangan suami istri yang masih muda dan sesudah tua timbul rasa santun-menyantuni (rahmah).

Sedangkan pengurusan rumah tangga dan pemeliharaan anak-anak sehari-hari menjadi kewajiban istri berdasarkan hadis rasul yang

Diriwayatkan bukhari dan muslim.

“Bahwa istri adalah penanggung jawab dalam rumah tangga suami istri yan bersangkutan.”32)

Kelebihan fisik laki-iaki dari wanita dilihat dari kenyataan.

Karena kelebihan fisik ini maka suami diberi kewajiban memberi nafkah dan menyediakan tempat tinggal untuk istri dan anak-anaknya seperti ditegaskan tuhan dalam Q. LXV: 6. (surah Ai Thalaq: 6).

A) Berilah tempat istrimu itu di mana kamu bertempat tinggal menurut kesanggupan kamu.

B) Dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka.

Dari Q. LXV: 6 ini terlihatlah ketentuan agar dalam menentukan tempat tinggal dipakai cara semacam patrilokal. Patrilokal di sini adalah semacam patrilokal dalam arti si istri bertempat tinggal di tempat suami bukan berarti bertempat tinggal di tempat keluarga si suami dan pindah menjadi keluarga dari keluarga suami.

Menurut prof. Dr. Hazairin, S.H., patrilokal dalam islam ialah patrilokal dalam arti si istri wajib mengikuti suami. Jadi dalam Q. LX: 6 ini perintah ditujukan kepada suami untuk memberi tempat tinggal kepada istri dan tempat tinggal itu bersama suami sendiri. Namun demikian janganlah penentuan tempat tinggal oleh suami itu memberatkan istrinya.

Bahwa pada prinsipnya pergaulan suami istri itu hendaklah:

1. Suami kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.

2. Pergaulan yang makruf atau pergaulan yang baik serta saling menjaga rahasia masing-masing.

3. Pergaulan yang sakinah atau pergaulan yang tenteram.

4. Pergaulan yang diliputi rasa mawaddah atau cinta-mencintai terutama di masa muda.

5. Pergaulan yang disertai rahmah, yaitu rasa santun-menyantuni terutama pada waktu tua telah mendatang.

Kedudukan suami istri

1. Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.

2. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan per¬gaulan hidup bersama dalam masyarakat.

3. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Kewajiban Suami

1. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya,akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami-istri secara bersama. (pasal 80 ayat (1).

2. Suami wajib melindungi istrinya dan memb~rikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

3. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa.

4. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:

A. Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri;

B. Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan

Bagi istri dan anak;

c. Biaya pendidikan bagi anak. (pasal 80 ayat (4».

5. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah tamkim sempuma dari istrinya.

6. Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.

7. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz.

Tempat kediaman

1. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya, atau bekas istri yang masih dalam iddah.

2. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.

3. Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak¬anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.

4. Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.

Kewajiban suami yang beristri lebih dari seorang

1. Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang berkewajiban memberi tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing¬masing istri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing istri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.

2. Dalam hal para istri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan istrinya dalam satu tempat kediaman.

Kewajiban Istri

1. Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan hukum islam.

2. Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.

3. Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (j) kecuali dengan alasan yang sah.

4. Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya yang tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.

5. Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah istri tidak nusyuz.

6. Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah.



Tentang pemeliharaan anak

1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 2] tahun, sepanjang anak tersebut tidak memiliki cacat fisik maupun mental atau belum pemah melangsungkan perkawinan.

2. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segaia perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.

3. Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.



RUKUN DAN SYARAT

PERNIKAHAN

A. PENDAHULUAN

Pernikahan yang sah harus memenuhi rukun dan syarat. Pernikahan yang sah harus memperhatikan larangan-larangan perkawinan sebagai tersebut di bawah ini.

B. BEBERAPA ASAS HUKUM PERNIKAHAN

Dalam membicarakan larangan perkawinan menurut hukum islam, ada 3 (tiga) asas yang harus diperhatikan yaitu: 1) asas absolut abstrak, 2) asas selektivitas dan asas legalitas. Asas absolut abstrak, ialah suatu asas dalam hukum perkawinan di mana jodoh atau pasangan suami istri itu sebenarnya sejak dulu sudah ditentukan oleh Allah atas permintaan manusia yang bersangkutan, Asas selektivitas adalah suatu asas dalam suatu perkawinan di mana seseorang yang hendak menikah itu harus menyeleksi lebih dahulu dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa dia dilarangnya. Asas legalitas ialah suatu asas dalam perkawinan, wajib hukumnya dicatatkan.

C. ADA BERMACAM-MACAM LARANGAN PERNIKAHAN MENURUT HUKUM ISLAM (ASAS SELEKTIVITAS)

Asas selektivitas dirumuskan dalam beberapa larangan pernikahan, dengan siapa dia boleh melakukan perkawinan dan dengan siapa dia dilarang (tidak boleh menikah).

Ada bermacam-macam larangan menikah (kawin) antara lain:

11. Larangan perkawinan karena berlainan agama;

12. Larangan perkawinan karena hubungan darah yang terlampau dekat;

13. Larangan perkawinan karena hubungan susuan;

14. Larangan perkawinan karena hubungan semenda;

15. Larangan perkawinan poliandri;

16. Larangan perkawinan terhadap wanita yang di Li’ an;

17. Larangan perkawinan (menikahi) wanita/pria pezina;

18. Larangan perkawinan dari bekas suami terhadap wanita (bekas istri yang ditalak tiga);

19. Larangan kawin bagi pria yang telah beristri empat, dijabarkan satu per satu sebagai berikut:

Ad.1. Larangan Perkawinan Karena Berlainan Agama

Dasar hukumnya Al quran surah II ayat 221, yang berbunyi. Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman, sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. (Al Baqarah ayat 221)

Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mukmin sebelum mereka beriman sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan perintah-perintahnya kepada manusia, supaya mereka mengambil pelajaran.

Dalam kaitan ini baik ditinjau Asbabun Nuzul dari Q.II: 221.

b. Ibnu Abi Murtsid Al Chanawi memohon izin kepada Nabi Muhammad SAW, agar dia dapat diizinkan menikah dengan seorang wanita musyrik yang cantik dan amat terpandang. Rasulullah belum dapat menjawab walaupun telah 2x ditanya. Sesudah Rasulullah berdoa kepada Allah, maka turunlah Q.II: 221. Yang melarang laki-iaki muslim menikahi wanita musyrik dan sebaliknya melarang wanita muslim menikahi laki-¬laki musyrik. (Rawahul Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan Al wahidi).

B. Abdullah bin Rawahaih mempunyai seorang hamba sahaya (budak) yang amat hitam. Pada waktu itu ia marah kepadanya dan menampar budak tersebut tetapi kemudian ia menyesal, lalu menceritakan kepada Nabi Muhamamd saw. Dan bertekad akan menebus penyesalan itu dengan menikahi budak yang hitam itu. Orang-orang pada waktu itu mencela dan mengejek tindakan Abdullah bin Rawahaih itu, tetapi dia tetap mau melaksanakan¬nya. Maka turunlah q. Ii: 221 sebagai pembenaran tindakannya itu:

“Bahwa seorang hamba sahaya (budak) yang muslimah lebih baik daripada wanita musyrik.”

Rawahul Al Wahidi dari Assu’udi dan berasal dari Abi Maliki, bersumber dari Ibnu Abbas.

Kedua kasus atau peristiwa tersebut di atas adalah asbabun alnuzzul (asbabun nuzul) dari Q.II: 221. Bahwa menikahi wanita budak (hamba sahaya atau pembantu) yang mukmin lebih baik daripada menikahi wanita nonmuslim (musyrik) walaupun dia cantik dan menarik (lihat juga fatwa MUI DKI Jaya tanggal 30 september 1986, tentang larangan perkawinan antaragama).

Ad.2.Larangan Perkawinan Karena Hubungan Darah Yang Terlampau Dekat

Dan sudut Ilmu Kedokteran (kesehatan keluarga), perkawinan antara keluarga yang berhubungan darah yang terlalu dekat itu akan mengakibatkan keturunannya kelak kurang sehat dan sering cacat bahkan kadang-kadang inteligensinya kurang cerdas, (lihatlah Dr. Ahmad ramali Jalan Menuju Kesehatan Jilid I, halaman 221).

A. Q. IV: 23a.

Dilarang karnu (laki-laki) rnenikahi ibu kandung karnu.

B. Q .IV: 23b.

Dilarang kamu (laki-laki) rnenikahi anak perernpuan kandungmu.

C. Q. IV: 23c.

Dilarang karnu (laki-laki) menikahi saudara kandungmu yang perempuan.

D. Q. IV: 23d.

Dilarang karnu rnenikahi anak perernpuan dari saudara laki-iaki kandungmu.

E. Q. IV: 23e.

Dilarang kamu menikahi anak perernpuan dari saudara perempuan kandungmu.

F. Q. IV: 23f.

Dilarang karnu (laki-laki) menikahi saudara kandung perempuan dari ibu kamu.

G. Q. IV: 23g.

Dilarang kamu (laki-laki) menikahi saudara kandung perempuan dari ayah karnu.

Larangan di sini bukan berarti larangan menikahi dalam arti formil saja (melalui prosedur akad nikah dengan ijab qabul), tetapi juga termasuk larangan menikahi secara materiil yaitu melakukan hubungan seksual.

Bilamana kita hubungkan dengan pengertian nikah menurut versi hanafi bahwa nikah itu dalam pengertian asli ialah hubungan seksual, sedangkan menurut syafi’ i nikah itu menurut pengertian majazi (metheportic) adalah hubungan seksual antara seorang wan ita dengan seorang pria.

Justru karena itu dalam pergaulan sehari-hari an tara ayah dengan anak perempuan yang sudah dewasa (baligh), demikian juga antara seorang anak laki-iaki dewasa dengan ibunya haruslah dijaga sedemikian rupa agar jangan sampai terlanggar norma hukum tuhan yang maha esa tersebut (lihat pos kota tanggal 26 desember 1979 dan tanggal 10 desember 1979).

Ad.3. Larangan Perkawinan Karena Hubungan Sesusuan

Masih dalam pembicaraan q. Iv: 23 terdapat aturan tentang larangan perkawinan karena ada hubungan susuan.

Maksudnya ialah bahwa seseorang laki-laki dengan wanita yang tidak mempunyai hubungan darah, tetapi pemah menyusu (menetek) dengan ibu (wanita) yang sarna dianggap mempunyai hubungan sesusuan, oleh karenanya timbul larangan menikah an tara keduanya karena alasan sesusu (sesusuan). Tentulah akan timbul persoalan lain yaitu beberapa kalikah menyusu itu atau berapa lama menyusu itu yang menimbulkan larangan menikah itu.

Ada dua pendapat tentang masalah tersebut.

Pendapat pertama mengatakan bahwa walaupun menyusu (menetek) itu satu kali saja tetapi sampai kenyang, maka telah timbul larangan perkawinan antara anak laki-iaki yang menyusu itu bahkan juga berlaku larangan bagi anak laki-iaki itu kelak dengan anak dari ibu (wanita) tempat dia menyusu itu pendapat ini adalah pendapat Hanafi beserta pengikut-pengikut mazhab hanafiah tersebut seperti juga, hambali dan imam malik.

Pendapat kedua ialah bahwa menyusu itu minimal 5 (lima) kali sampai kenyang setiap kali menyusu itu, dengan tidak dipersoalkan kapan waktu-waktu menyusu itu, apakah sehari itu menyusu lima kali itu, atau berjarak dua atau tiga hari atau seminggu. Maka barulah timbul larangan perkawinannya. Pendapat ini adalah pendapat imam syafi’i dengan para penganutnya.

Di samping itu berdasarkan penyelidikan dari sudut medis (ilmu kesehatan). Maka ternyata air susu ibu itu barn berproses menjadi darah dan daging untuk membentuk fisik bayi apabila~ menyusui itu minimal 5 (lima) kali sampai kenyang (iihat dr. Ahmadi ramali: jalan menuju kesehatan).

Berhubung dengan itu ada tendensi (iebih banyak) bahwa pendapat imam syafi’i itu didukung oleh para faqih (para sarjana islam) termasuk penulis.

H. Q. IV: 23h.

Dilarang kamu menikahi perempuan di mana kamu pernah menyusui.

I. Q. IV: 23i.

Dilarang kamu menikahi perempuan sesama susuan yaitu anall dari perempuan yang kamu pernah menyusu pada ibunya.I

Ad.4.a. Larangan perkawinan karena hubungan semenda

Hubungan semenda artinya ialah setelah hubungan perkawinan yang terdahulu, misalnya kakak adik perempuan dari istri kamu (laki-laki).

Laki-iaki (kamu) telah menikahi kakaknya yang perempuan atau adiknya yang perempuan maka timbullah larangan perkawin antara suami dari kakakladik perempuan itu dengan kakaknya ¬perempuan itu.

lazimnya di indonesia disebut kakak adik ipar, demikian juga hubungan antara anak tiri dengan bapak tiri, antara ibu tiri dengan anak tiri.

1. Q. Iv: 23j.

Dilarang kamu menikahi ibu istri kamu (mertua kamu yang perempuan).

K. Q. Iv: 23k.

Dilarang kamu menikahi anak tiri kamu yang perempuan yang ada dalam pemeliharaan kamu dari istri yang telah kamu campuri, dan apabila istri kamu itu belum kamu campuri maka tidak mengapa kamu menikahi anak tiri itu.

L. Q. Iv: 231.

Dilarang kamu menikahi istri anak shulbi kamu (menantu kamu yang perempuan).

M.Q. IV: 23m.

Jangan kamu menikahi saudara istri kamu yang perempuan, kecuali apabila kamu ceraikan yang lain (dilarang kamu menikahi dua orang perempuan bersaudara sekaligus).

Q. IV: 24.

Dihalalkan bagi kamu selain dari yang secara limitatif ditegaskan demikian (lihat juga q. Xxxiii: 24, 35 dan 37 peristiwa zaid bin haritsah dan zainab binti jahsyin.

Ad.4.b

Larangan perkawinan masih dalam rangka hubungan semenda, tetapi lebih bersifat khusus

larangan perkawinan masih dalam rangka hubungan semenda, tetapi lebih bersifat khusus atau istimewa, karena ayat Quran mengenal larangan ini diwahyukan Tuhan khusus untuk melarang perkawinan yang demikian ini yaitu, Q.IV: 22.



“jangan kamu nikahi perempuan yang telah dinikahi oleh

Bapak kamu, perbuatan itu adalah perbuatan jahat dan keji.”

larangan itu tentulah bersifat haram apabila dilanggar dengan ketegasan kata-kata atau petunjuk Tuhan, bahwa perbuatan itu adalah perbuatan yang jahat dan keji. Boleh ditafsirkan dengan tambahan kata-kata jahat dan keji itu berarti sangat terkutuk sekati, sangat dibenci dan dimarahi illahi seorang laki-iaki menikahi wanita yang telah dinikahi oleh bapaknya (ibu tirinya). Menurut penulis larangan ini ditujukan bukan saja perempuan yang masih dalam hubungan perkawinan dengan bapaknya maupun yang telah dicerai baik cerai hidup maupun mati.

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Abu qais bin Ai Aslat seorang Anshar yang saleh meninggal dunia. Anaknya melamar bekas istri abu qais itu (menikahi bekas ibu tiri).

Berkata wanita itu, “saya menganggap engkau sebagai anakku, dan engkau termasuk dari kaumku.” maka menghadaplah pemuda itu kepada rasul (nabi muhammad saw.) Bersabda rasul, “pulanglah engkau ke romanmu.” Setelah Rasullallah berdoa turunlah. Q. IV: 22 tersebut.

Rawahul ibnu hatim, ai taryabi dan ath thabrani bersumber dari zaid bin tsabit.

Riwayat lain dikemukakan bahwa di zaman jahiliyah anak laki-iaki yang ditinggal mati oleh bapaknya berhak atas diri ibu tirinya, apakah akan menikahinya sendiri atau menikahkan dengan orang lain.

Ketika abu qais bin al aslat meninggal muhsin bin qais (anak abu qais) menikahi bekas istri bapaknya itu dan tidak memberikan suatu warisan apa pun kepada wan ita itu.

Mengadulah wanita itu kepada rasululjah, mengenai haknya, setelah nabi muhammad saw. Berdoa turunlah q. Iv: 22 itu. Rawahul ibnu saad bersumber dari Muhammad bin ka’ab ai qarthi. 5)



Ad.6. Larangan perkawinan poliandri Q. IV: 24

Jangan kamu (laki-laki) menikahi seorang wanita yang sedang bersuami.

Dari sudut wan ita ketentuan itu adalah berupa larangan melakukan poliandri (seorang wanita yang telah bersuami menikah lagi dengan laki-iaki lain).

dalam suatu hadis rasul diriwayatkan oleh muslim, Abu Daud, Al Tirmidzi dan Al Nasai berasal dari Abi Said Al Chudri.

Dalam peperangan anthos dalam tahun ke-2 pada waktu itu kaum muslimin mendapat kemenangan dan berhasil memperoleh tawanan beberapa wanita ahlil kitab yang masih bersuami. Pada waktu wanita-wanita itu mau dinikahi oleh kaum muslimin mereka menolak dengan alasan masih bersuami.

Rasulullah saw. Menjawabnya berdasarkan Q.IV: 24 ini.

Demikian juga dalam peperangan hunain tahun ke-3 h juga para tawanan wanita yang masih bersuami akan dinikahi oleh kaum muslimin yang berhak atas tawanan itu mereka tidak mau. Rawahul ai thabrani bersumber dari ibnu abbas.?)

Ad. 6. Larangan perkawinan terhadap wanita yang di ii’ an

li’an diatur dalam Al Quran Surah XXIV ayat 4 dan 6 atau Surah An Nuur. (cahaya).

Akibat istri yang di ii’ an maka mereka bercerai untuk selama¬ lamanya, dan tidak dapat, baik rujuk lagi maupun menikah lagi an tara bekas suami istri itu. Sedangkan anak-anak yang dilahirkan hanya mempunyai hubungan dengan ibunya.

Ad.7. Larangan menikahi wanita pezina maupun laki-laki pezina

Tujuan perkawinan sifatnya adalah suci. Ia harus dicegah dari segala unsur penodaan, pengotoran karena itulah ia menjadi lembaga keagamaan. Haramlah yang tidak melindungi, mengawal dan mengamankan kesucian perkawinan. Perkawinan yang didasarkan sekuler saja (menurut apa adanya saja, kebudayaan saja) tidak. Akan dapat menjaga atau tidak akan mampu menjaga kesucian itu, seperti yang dijelaskan dalam q. Xxiv: 3 (surah ai nuur ayat 3).

Laki-iaki yang berzina tidak dapat menikahi perempuan baik¬baik. Ia hanya dapat menikahi wanita pezina pula atau wanita musyrik. Dan perempuan pezina tidak dapat dikawini laki-iaki baik¬baik. Dia hanya dapat menikahi dengan laki-iaki pezina pula atau laki-iaki yang musyrik. Demikian ditetapkan oleh allah dan diharamkan orang-orang mukmin melakukan di luar ketentuan allah tersebut.

Ad. 8. Larangan suami menikahi perempuan (bekas istrinya)

Yang ditalak tiga kecuali perempuan bekas istri tersebut telah dinikahi lebih dahulu oleh laki-iaki lain secara sah kemudian tertalak lagi serta habis tenggang waktu iddah (menunggu).

Lihat Q. II: 230 yang berbunyi sebagai berikut: Q. II: 230.

Kemudian apabila si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian apabila suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan bekas istri itu) untuk menikah kembali, apabila keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum allah.

Ad.9. Larangan kawin lagi bagi laki-laki yang telah mempunyai istri 4 (empat) orang

Seperti telah penulis uraikan pada bab I pengertian tentang perkawinan. Bahwa prinsipnya perkawinan menurut hukum islam itu adalah monogami. Tetapi demi untuk melindungi atau untuk kepentingan anak yatim yang berada di bawah pengawasan dan pemeliharaan kamu bolehlah menikahi ibu dati anak yatim tersebut dua, tiga atau maksimal 4 (empat) orang.

Berarti walaupun ada pengecualian kawin poligami tetapi dibatasi hanya sampai dengan 4 (empat) orang istti. Apabiia seseorang sudah mempunyai 4 (empat) orang istri haramlah baginya menikah lagi untuk kelimanya (istri keiima). Q. Iv: 3 juncto q. Iv: 127.

Disyaratkan dalam terjadinya akad nikah itu harus ada Ijab dan Qabul, dengan tidak ada jarak pemisah antara terjadinya Ijab dan diucapkan¬nya Qabul. Menurut ulama Malikiah tidaklah rusak akad itu dengan adanya pemisah yang sesaat, sebagaimana dapat dipisahkan dengan khutbah sebentar.17)

Menurut ulama Hanafiah, bagaimana andaikata ada lamaran seorang pria kepada seorang wanita, dengan mempergunakan surat (tulisan) kemudian wanita itu memanggil2 (dua) orang saksi lalu membacakan isi surat sambil berkata: aku nikahkan diriku kepada pelamar itu, maka sahlah perkawinan itu.

Sepakat para ulama bahwa akad nikah itu baru terjadi setelah dipenuhinya rukun-rukun dan syarat-syarat nikah, yaitu:

1. Adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perem¬puan;

2. Calon pengantin itu kedua-duanya sudah dewasa dan berakal (akil baligh);

3. Persetujuan bebas antara calon mempelai tersebut (tidak boleh ada paksaan);

4. Harus ada wali bagi calon pengantin perempuan;

5. Harus ada mahar (mas kawin) dari calon pengantin laki-iaki yang diberikan setelah resmi menjadi suami istri kepada istrinya;

6. Harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang adil dan laki-iaki islam merdeka;

7. Harus ada upacara ijab qabul, ijab ialah penawaran dari pihak calon istri atau walinya atau wakilnya dan qabul penerimaan oleh calon suami dengan menyebutkan besarnya mahar (mas kawin) yang diberikan. Setelah proses ijab dan qabul itu resmilah terjadinya perkawinan (akad nikah) antara seorang wanita dengan seorang pria membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia kekal dan berdasarkan ketuhanan yang maha esa.

8. Sebagai tanda bahwa telah resmi terjadinya akad nikah (perkawinan) maka seyogianya diadakan walimah (pesta pernikahan) walaupun hanya sekadar minum teh manis atau dengan sepotong kaki kambing untuk bahan sop;

20. Sebagai bukti autentik terjadinya perkawinan, sesuai dengan analogi q. Ii: 282 harus diadakan ilanun nikah (pendaftaran nikah), kepada pejabat pencatat nikah, sesuai pula dengan undang-undang no. 22 tahun ] 946 jo. Undang-undang nomor 32 tahun ]954 jo. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 (lihat juga pasal 7 kompilasi hukum islam (instruksi presiden ri no. ] tahun 1991. Pendaftaran ini penting untuk pembuktian bagi generasi berikutnya, baik tentang keturunan berupa anak, dan cicit maupun pembuktian tentang sahnya pewarisan kelak.

Menurut sajuti thalib, s.h., terjadinya nikah itu ialah sesudah dipenuhi semua baik rukun maupun syarat perkawinan, seperti adanya calon penga~tin perempuan dan calon pengantin laki-]aki persetujuan yang bebas di an tara keduanya, telah matang baik jiwa maupun raganya, disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi, dibayar mahar (mas kawin), ada izin dari orang tua wali, klimaksnya dengan aqdu al nikah (aqdunnikah) diiringi dengan ijab (penawaran) dari pihak calon pengantin perempuan serta qabul (penerimaan) dari pengantin laki-iaki.

Sunah hukumnya setelah ijab dan qabul tersebut se]esai diadakan walimah (beserta pengumuman tentang terjadinya nikah).19)



Hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan

Dengan terjadinya suatu akad nikah (perjanjian perkawinan),maka seorang laki-iaki yang menjadi suami memperoleh berbagai hak dalam keluarga, demikian juga seorang perempuan yang menjadi istri dalam suatu perkawinan memperoleh berbagai-bagai hak pula. Di samping itu mereka pun memikul pula kewajiban-kewajiban sebagai akibat dari mengikatkan diri dalam perkawinan itu.

Hak dan kewajiban suami istri itu ditegaskan, baik dalam Al quran maupun Hadis Rasul.Q. IV: 19

A. . . . . . . .

B. Hai suami janganlah kamu cari-cari kesalahan istri kamu itu dengan maksud hendak mengambil sesuatu harta benda yang telah pernah kamu berikan kepadanya.

C. Hai suami bergaullah kamu dengan istri kamu secara

pergaulan yang makruf (baik-baik).

D. Seandainya kamu telah merasa tidak senang kepada istri kamu itu, hendaklah kamu sadari bahwa boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu hal sedangkan allah menjadikan sesuatu hal tersebut kebaikan yang banyak.

A. Istilah makruf adalah istilah pokok yang dipakai untuk menerangkan iktikad baik untuk kejujuruan (tergoeder trouw) atau sebagai ayah yang baik (the good father) yang biasa kita temui dalam istilah¬istilah hukum perdata ,baik mengenai hubungan orang dengan orang maupun mengenai orang dengan orang di mana tersangkut di dalamnya bend a (harta kekayaan).26)

B. Dalam pengertian makruf (baik-baik) ialah an tara suami istri harus saling menghormati dan wajib menjaga rahasia masing¬masmg.

Dikatakan wajib karena haram hukumnya bagi suami membuka rahasia istrinya, demikian pula sebaliknya haram si istri membuka rahasia suaminya.

Dan amat terpuji suami istri yang menjaga rahasia mereka masing-masing, sebagaimana firman allah: Q. IV: 34

Demikian pula kita temui pemyataan-pemyataan kemarahan Tuhan kepada suami istri yang saling membuka rahasia mereka masing-masing kepada pihak ketiga, yang dijelaskan oleh rasul dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh muslim.

Sabda rasul:

Bahwa sesungguhnya di antara yang paling dimarahi Tuhan nanti di hari kiamat (akhirat), (yaumil mahsyar) ialah seorang suami yang diberi tahu oleh istrinya tentang rahasia istri itu, sedangkan oleh suami tadi rahasia itu disiarkannya.

Begitupun seorang istri yang diberi tahu oleh suaminya tentang rahasia suami itu, kemudian oleh istri itu dibukakannya kepada pihak lain.28)

Dalam salah satu hadis yang lain rasul menyatakan ketidaksenangan beliau kepada suami istri yang telah membuka rahasia masing-masing. Mereka yang membukakan rahasia masing-masing antara suarni istri kepada pihak lain sarna dengan setan (iblis).

Rawahul asmak binti yazid dan dibukukan oleh imam ahmad.29)

Seorang suarni/istri rnernbukakan rahasia rnasing-rnasing kepada pihak ketiga berarti tidak ada lagi unsur hormat-rnenghormati dan saling rnernberikan bantuan lahir dan batin.

Di dalarn Quran ditegaskan lagi oleh tuhan: Q. XXX: 21 (Ar Ruurn)

A. Dari pertanda-pertanda tuhan, ialah Tuhan rnenjadikan pasangan karnu dari diri karnu sendiri pasangan hidup karnu untuk kamu dapat hidup secara sakinah (tenterarn) dengan istri karnu itu.

B. Dan dari pertanda-pertanda tuhan, ialah tuhan menjadi.kan antara suami istri itu mawaddah (cinta-mencintai) dan rahmah

(satuan-menyantuni).30)

Mawaddah artinya cinta-mencintai antara suami istri yang meliputi pula arti saling memerlukan dalam hubungan seks. Umumnya hal tersebut sangat diperlukan oleh pasangan suami istri yang masih muda dan sesudah tua timbul rasa santun-menyantuni (rahmah).

Sedangkan pengurusan rumah tangga dan pemeliharaan anak-anak sehari-hari menjadi kewajiban istri berdasarkan hadis rasul yang

Diriwayatkan bukhari dan muslim.

“Bahwa istri adalah penanggung jawab dalam rumah tangga suami istri yan bersangkutan.”32)

Kelebihan fisik laki-iaki dari wanita dilihat dari kenyataan.

Karena kelebihan fisik ini maka suami diberi kewajiban memberi nafkah dan menyediakan tempat tinggal untuk istri dan anak-anaknya seperti ditegaskan tuhan dalam Q. LXV: 6. (surah Ai Thalaq: 6).

A) Berilah tempat istrimu itu di mana kamu bertempat tinggal menurut kesanggupan kamu.

B) Dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka.

Dari Q. LXV: 6 ini terlihatlah ketentuan agar dalam menentukan tempat tinggal dipakai cara semacam patrilokal. Patrilokal di sini adalah semacam patrilokal dalam arti si istri bertempat tinggal di tempat suami bukan berarti bertempat tinggal di tempat keluarga si suami dan pindah menjadi keluarga dari keluarga suami.

Menurut prof. Dr. Hazairin, S.H., patrilokal dalam islam ialah patrilokal dalam arti si istri wajib mengikuti suami. Jadi dalam Q. LX: 6 ini perintah ditujukan kepada suami untuk memberi tempat tinggal kepada istri dan tempat tinggal itu bersama suami sendiri. Namun demikian janganlah penentuan tempat tinggal oleh suami itu memberatkan istrinya.

Bahwa pada prinsipnya pergaulan suami istri itu hendaklah:

6. Suami kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.

7. Pergaulan yang makruf atau pergaulan yang baik serta saling menjaga rahasia masing-masing.

8. Pergaulan yang sakinah atau pergaulan yang tenteram.

9. Pergaulan yang diliputi rasa mawaddah atau cinta-mencintai terutama di masa muda.

10. Pergaulan yang disertai rahmah, yaitu rasa santun-menyantuni terutama pada waktu tua telah mendatang.

Kedudukan suami istri

4. Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.

5. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan per¬gaulan hidup bersama dalam masyarakat.

6. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Kewajiban Suami

5. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya,akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami-istri secara bersama. (pasal 80 ayat (1).

6. Suami wajib melindungi istrinya dan memb~rikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

7. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa.

8. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:

A. Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri;

B. Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan

Bagi istri dan anak;

c. Biaya pendidikan bagi anak. (pasal 80 ayat (4».

5. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah tamkim sempuma dari istrinya.

6. Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.

7. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz.

Tempat kediaman

5. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya, atau bekas istri yang masih dalam iddah.

6. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.

7. Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak¬anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.

8. Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.

Kewajiban suami yang beristri lebih dari seorang

3. Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang berkewajiban memberi tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing¬masing istri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing istri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.

4. Dalam hal para istri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan istrinya dalam satu tempat kediaman.

Kewajiban Istri

7. Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan hukum islam.

8. Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.

9. Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (j) kecuali dengan alasan yang sah.

10. Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya yang tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.

11. Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah istri tidak nusyuz.

12. Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah.



Tentang pemeliharaan anak

4. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 2] tahun, sepanjang anak tersebut tidak memiliki cacat fisik maupun mental atau belum pemah melangsungkan perkawinan.

5. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segaia perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.

6. Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mamp

PANDANGAN ISLAM TERHADAP PERWALIAN NIKAH



A. Pengertian Wali dalam Pernikahan



Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu Al-Wali dengan bentuk jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong.[1] Sedangkan menurut istilah, kata “wali” mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa,… pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin pria). [2]



Sedangkan Abdurrahman Al Jaziry mengatakan tentang wali dalam Al Fiqh ‘ala Mazaahib Al Arba’ah :



الولى فى النكاح هو : ما يتوقف عليه صحّة العقد فلا يصحّ بدونه٣



“Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali)”.



Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa wali dalam pernikahan adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai wanita, karena wali merupakan syarat sah nikah, dan akad nikah yang dilakukan tanpa wali dinyatakan tidak sah.



Wali ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus, yang umum berkaitan dengan orang banyak dalam satu wilayah atau negara dan yang khusus berkenaan dengan seseorang dan harta benda.



Dalam pembahasan skripsi ini yang akan dibicarakan adalah wali terhadap manusia yang bersifat khusus, yaitu tentang perwalian dalam pernikahannya.

B. Syarat-syarat Wali



Wali dalam pernikahan diperlukan dan tidak sah suatu pernikahan yang dilakukan tanpa adanya wali. Oleh karena itu maka seorang wali haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai wali. Syarat-syarat tersebut adalah :



1. Islam ( orang kafir tidak sah menjadi wali)



2. Baligh (anak-anak tidak sah menjadi wali)



3. Berakal (orang gila tidak sah menjadi wali)



4. Laki-laki (perempuan tidak sah menjadi wali)



5. Adil (orang fasik tidak sah menjadi wali)



6. Tidak sedang ihrom atau umroh.4



Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah mengemukakan beberapa persyaratan wali nikah sebagai berikut :



Syarat-syarat wali ialah merdeka, berakal sehat dan dewasa. Budak, orang gila dan anak kecil tidak dapat menjadi wali, karena orang-orang tersebut tidak berhak mewalikan dirinya sendiri apalagi terhadap orang lain. Syarat kempat untuk menjadi wali ialah beragama Islam, jika yang dijadikan wali tersebut orang Islam pula sebab yang bukan Islam tidak boleh menjadi walinya orang Islam. 5 Allah berfirman:



…ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا (النساء\٤ : ١٤١)



Artinya : ” … Dan Allah tidak akan sekali-kali memberikan jalan kepada orang kafir menguasai orang-orang mukmin (Q.S. An Nisa: 4/141



Sedangkan dalam buku Pedoman Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, syarat-syarat menjadi wali adalah :



1. Beragama Islam



2. Baligh



3. Berakal



4. Tidak dipaksa



5. Terang lelakinya



6. Adil (bukan Fasik)



7. Tidak sedang ihrom haji atau umroh



8. Tidak dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh pemerintah (Mahjur bissafah).



9. Tidak rusak pikirannya karena tua atau sebagainya.6



Dari beberapa pendapat diatas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa persyaratan untuk menjadi wali secara umum adalah :



1. Islam



Orang yang bertindak sebagai wali bagi orang Islam haruslah beragama Islam pula sebab orang yang bukan beragama Islam tidak boleh menjadi wali bagi orang Islam. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :



…ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا (النساء\٤ : ١٤١)



Artinya : ” … Dan Allah tidak akan sekali-kali memberikan jalan kepada orang kafir menguasai orang-orang mukmin (Q.S. An Nisa: 4/141



2. Baligh



Anak-anak tidak sah menjadi wali, karena kedewasaan menjadi ukuran terhadap kemampuan berpikir dan bertindak secara sadar dan baik.7 Hal ini diungkapkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:



عن علي رضي الله عنه عن النبي ص.م. قال : رفع القلم عن أمتى عن ثلاثة : عن النائم حتّى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يفيق (رواه أبو داود)٨



Artinya: “Dari Ali ra. Dari Nabi SAW. Bersabda : Dibebaskannya tanggungan atau kewajiban itu atas tiga golongan, yaitu : orang yang sedang tidur sampai ia terbangun dari tidurnya, anak kecil sampai ia bermimpi (baligh) dan orang gila sehingga ia sembuh dari gilanya”. ( H.R. Abu Daud)



Hadits diatas memberikan pengertian bahwa anak-anak tidak berhak menjadi wali. Ia dapat menjadi wali apabila telah dewasa.

3. Laki-laki



Seorang wanita tidak boleh menjadi wali untuk wanita lain ataupun menikahkan dirinya sendiri. Apabila terjadi perkawinan yang diwalikan oleh wanita sendiri, maka pernikahannya tidak sah. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW:



عن أبى هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله ص.م.:لا تزوج المرأة المرأة ولا تزوج المرأة نفسها (رواه ابن ماجه والدارقطنى)٩



Artinya: “Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda “wanita tidak boleh mengawinkan wanita dan wanita tidak boleh mengawinkan dirinya”(HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruquthni ).



4. Berakal



Sebagaimana diketahui bahwa orang yang menjadi wali harus bertanggung jawab, karena itu seorang wali haruslah orang yang berakal sehat. Orang yang kurang sehat akalnya atau gila atau juga orang yang berpenyakit ayan tidak dapat memenuhi syarat untuk menjadi wali.



Jadi salah satu syarat menjadi wali adalah berakal dan orang gila tidak sah menjadi wali.10

5. Adil



Telah dikemukakan wali itu diisyaratkan adil, maksudnya adalah tidak bermaksiat, tidak fasik, orang baik-baik, orang shaleh, orang yang tidak membiasakan diri berbuat munkar.13 Ada pendapat yang mengatakan bahwa adil diartikan dengan cerdas. Adapun yang dimaksud dengan cerdas disini adalah dapat atau mampu menggunakan akal pikirannya dengan sebaik-baiknya atau seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:



عن عمران بن حصين عن النبي ص.م. قال: لا نكاح إلا بولي وشاهدىعدل (رواه أحمد بن حنبل)١٤



Artinya: “Dari Imran Ibn Husein dari Nabi SAW bersabda: “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil”(HR.Ahmad Ibn Hambal).



Berdasarkan hadits diatas, maka seseorang yang tidak cerdas dan tidak mampu berbuat adil tidak boleh dijadikan wali dalam pernikahan.

C. Fungsi dan Kedudukan Wali



1. Fungsi Wali



Dalam Islam ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, khususnya pada masalah perkawinan. Seorang laki-laki jika telah dewasa dan aqil (berakal), maka ia berhak untuk melakukan akad nikahnya sendiri. Hal ini berbeda dengan wanita, walaupun ia dimintakan persetujuannya oleh walinya, tetapi tidak diperkenankan untuk melakukan akad nikahnya sendiri.



Suatu perkawinan sangat mungkin menjadi titik tolak berubahnya hidup dan kehidupan seseorang. Dan dengan adanya anggapan bahwa wanita (dalam bertindak) lebih sering mendahulukan perasaan daripada pemikirannya, maka dikhawatirkan ia dapat melakukan sesuatu yang menimbulkan kehinaan pada dirinya yang hal itu juga akan menimpa walinya.



Disamping itu pada prakteknya di masyarakat, pihak perempuanlah yang mengucapkan ijab (penawaran), sedang pengantin laki-laki yang diperintahkan mengucapkan qabul (penerimaan). Karena wanita itu pada umumnya (fitrahnya) adalah pemalu (isin-Jawa), maka pengucapan ijab itu perlu diwakilkan kepada walinya.15 Hal ini berarti bahwa fungsi wali dalam pernikahan adalah untuk menjadi wakil dari pihak perempuan untuk mengucapkan ijab dalam akad nikahnya.



2. Kedudukan wali



Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan wali dalam pernikahan. Hal ini dikarenakan tidak adanya satu ayat atau pun hadits yang secara tegas mensyaratkan adanya wali dalam pernikahan. Selain itu hadits-hadits yang dipakai oleh para fuqaha masih diperselisihkan keshahihannya kecuali hadits Ibnu Abbas.



Berikut ini akan diuraikan beberapa pendapat para ulama mengenai kedudukan wali dalam pernikahan, yaitu:



a. Jumhur ulama, Imam Syafi’I dan Imam Malik



Mereka berpendapat bahwa wali merupakan salah satu rukun perkawinan dan tak ada perkawinan kalau tak ada wali. Oleh sebab itu perkawinan yang dilakukan tanpa wali hukumnya tidak sah (batal).16 Alasan yang mereka kemukakan, diantaranya:



1. Q.S. An Nur/24 : 3



وأنكحوا الأيامى منكم والصالحين من عبادكم وإمائكم… (النور\ (٣٢ :٢٤



Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki perempuan…” (Q.S. An Nur:24/ 32).



2. Hadits Nabi SAW dari Abi Musa Al Asy’ari.

عن ابى موسى عن ابيه رضي الله تعالى عنهما قال: قال رسول الله ص.م.: لا نكاح إلا بولي (رواه أحمد و الأربعة و صحه ابن المد ينى و الترمذى وابن حبان)۱۷



Artinya : “Dari Abi Musa Al- Asy’ari dari Ayahnya ra berkata Rasulullah SAW bersabda : “Tidak ada suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali” (HR. Ahmad dan Imam Empat dan dibenarkan Ibnu Madini dan At- Turmudzi dan Ibnu Hiban)



Jumhur berpendapat bahwa hadits ini secara dzahir menafikan (meniadakan) keabsahan akad nikah tanpa wali dan bukan menafikan sempurnanya akad nikah.



3. Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah



عن عائشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله ص.م. : أيما إمرأة نكاحت بغير إذن وليهافنكاحها باطل, فنكاحها باطل, فنكاحهاباطل.فإن أصابها فلها مهرها بما أصاب من فرجها وإن اشتجروافالسلطان ولي من لا ولي لها (رواه أحمد) ١٨



Artinya: ” Dari Aisyah ra berkata : Rasulullah SAW bersabda: “Tiap-tiap wanita yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Jika perempuan itu telah disetubuhi, maka dia berhak menerima mahar dengan sebab persetubuhan itu. Maka jika para wali enggan (berselisih), maka sultanlah yang menjadi wali bagi orang yang tidak ada wali.” (HR. Ahmad).



Hadits diatas mengandung beberapa pengertian



– Akad nikah yang dilaksanakan tanpa wali , maka hukumnya batal



– Melakukan persetubuhan atas dasar menganggap akan halalnya mewajibkan kepada laki-laki pelaku untuk membayar mahar mitsil.



– Wanita yang berselisih dengan walinya atau gaib atau memang tidak ada wali, maka sulthanlah walinya atau wali hakim.



Selain itu mereka berpendapat perkawinan itu mempunyai beberapa tujuan, sedangkan wanita biasanya suka dipengaruhi oleh perasaannya. Karena itu ia tidak pandai memilih , sehingga tidak dapat memperoleh tujuan –tujuan utama dalam hal perkawinan ini. Hal ini mengakibatkan ia tidak diperbolehkan mengurus langsung aqadnya tetapi hendaklah diserahkan kepada walinya agar tujuan perkawinan ini benar-benar tercapai dengan sempurna.



b. Imam Hanafi dan Abu Yusuf (murid Imam Hanafi)



Mereka berpendapat bahwa jika wanita itu telah baligh dan berakal, maka ia mempunyai hak untuk mengakad nikahkan dirinya sendiri tanpa wali. Alasan yang mereka kemukakan antara lain:



1. Q.S. Al- Baqarah : 2/232



وإذا طلقتم النساء فبلغن أجلهن فلا تعضلوهن أن ينكحن أزواجهن … (البقرة\٢: ٢٣٢)



Artinya : ” Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya…” (Q.S. Al-Baqarah: 2/ 232).



Menurut mereka ayat diatas merupakan dalil mengenai kebolehan bagi wanita untuk mengawinkan dirinya sendiri.



2. Dari Hadits Ibnu Abbas r.a. yang telah disepakati shahihnya, yaitu:



عن ابن عباس قال: قال رصول الله ص.م.: الثيب أحق بنفسها من وليها والبكرتستأذن فى نفسها و إذنها صما تها, وفى رواية لأبى داود والنسائى : ليس للولي مع الثيب أمر واليتيمة تستأم (رواه بخرى و مسلم)۱۹



Artinya: ” Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata : Nabi SAW bersabda: “Perempuan janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya dan anak gadis diminta pertimbangannya dan izinnya adalah diamnya. Dan pada suatu riwayat Abu Daud dan An- Nasa’I: “Tidak ada urusan wali terhadap janda; dan gadis yang tidak mempunyai Bapak (yatimah)”(HR. Bukhori dan Muslim).



Hadits ini memberikan hak sepenuhnya kepada wanita (janda) mengenai urusan dirinya dan meniadakan campur tangan orang lain dalam urusan pernikahannya. Sedangkan untuk gadis apabila dimintai persetujuannya, karena ia masih pemalu maka cukup dengan diamnya Hal ini dianggap sebagai jawaban persetujuannya.



Selain itu Abu Hanifah melihat lagi bahwa wali bukanlah syarat dalam akad nikah. Beliau menganalogikan dimana kalau wanita sudah dewasa, berakal dan cerdas mereka bebas bertasarruf dalam hukum-hukum mu’amalat menurut syara’, maka dalam akad nikah mereka lebih berhak lagi, karena nikah menyangkut kepentingan mereka secara langsung.



Menurut beliau juga, walaupun wali bukan syarat sah nikah, tetapi apabila wanita melaksanakan akad nikahnya dengan pria yang tidak sekufu dengannnya, maka wali mempunyai hak I’tiradh (mencegah perkawinan).



Selanjutnya Imam-imam yang lain pun berbeda pendapat mengenai kedudukan wali dalam pernikahan,20 di antaranya:



a. Daud Dzahiry



Beliau berpendapat bahwa bagi janda, wali tidak menjadi syarat dalam akad nikah, sedangkan bagi gadis wali menjadi syarat



b. Asy- Sya’bi dan Az- Zuhry



Mereka berpendapat bahwa wali menjadi syarat kalau calon suami tidak sekufu’ dengan calon istri, sebaliknya kalau calon suami sekufu’, maka wali tidak menjadi syarat.



c. Abu Tsur



Beliau berpendapat bahwa nikah sah apabila wali memberi izin dan batal kalau wali tidak memberi izin.

D. Macam-macam Wali



Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu wali nasab, wali hakim dan muhakkam, Dibawah ini akan diuraikan lebih lanjut mengenai ke-3 macam wali tersebut.



1. Wali Nasab



Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi wali.



Wali nasab urutannya adalah:



1. Bapak, kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas



2. Saudara laki-laki kandung (seibu sebapak)



3. Saudara laki-laki sebapak



4. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung



5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak an seterusnya ke bawah



6. Paman (saudara dari bapak) kandung



7. Paman (saudara dari bapak) sebapak



8. Anak laki-laki paman kandung



9. Anak laki-laki paman sebapak dan seterusnya ke bawah.21



Urutan diatas harus dilaksanakan secara tertib, artinya yang berhak menjadi wali adalah bapak, apabila bapak telah meninggal atau tidak memenuhi persyaratan, maka wali berpindah kepada kakek dan bila kakek telah meninggal atau kurang memenuhi syarat yang telah ditentukan, maka wali jatuh kepada bapaknya kakek dan seterusnya keatas. Begitulah seterusnya sampai urutan yang terakhir.



Ada beberapa hal yang menjadikan perwalian yang lebih dekat itu dapat digantikan oleh wali yang lebih jauh. Seperti dikemukakan di bawah ini:



Wali yang lebih berhak tidak ada, wali yang lebih berhak belum baligh, yang berhak menderita sakit gila, wali yang lebih berhak pikun karena tua, wali yang lebih berhak bisu tidak bisa diterima isyaratnya, wali yang lebih berhak tidak beragama Islam sedangkan wanita itu beragama Islam.22



Jika wali yang lebih berhak tidak ada, maka yang menggantikannya adalah wali yang lebih jauh dengan memperhatikan urutan seperti yang tercantum dalam kutipan tersebut. Bila terjadi di luar ketentuan tersebut, maka wali nikah akan jatuh kepada wali yang lain, yaitu wali sultan atau hakim.



Wali nasab terbagi dua. Pertama, wali nasab yang berhak memaksa menentukan perkawinan dan dengan siapa seorang perempuan itu mesti kawin. Wali nasab yang berhak memaksa ini disebut wali mujbir.23



Wali mujbir yang mempunyai hak untuk mengawinkan anak perempuannya dengan tidak harus meminta izin terlebih dahulu kepada anak perempuannya harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:



a. Tidak ada permusuhan antara wali mujbir dengan anak gadis tersebut.



b. Sekufu’ antara perempuan dengan laki-laki calon suaminya



c. Calon suami itu mampu membayar mas kawin



d. Calon suami tidak bercacat yang membahayakan pergaulan dengan dia, seperti orang buta.



Dengan demikian dapatlah diambil suatu pengertian bahwa perkawinan dinyatakan sah bila wali mempelai perempuan adalah wali mujbir, dengan ketentuan harus dapat memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Akan tetapi bila salah satu persyaratan diatas tidak terpenuhi maka anak perempuan itu dimintai izin terlebih dahulu sebelum dinikahkan.



Kedua, wali nasab yang tidak mempunyai hak kekuasaan memaksa atau wali nasab biasa, yaitu saudara laki-laki kandung atau sebapak, paman yaitu saudara laki-laki kandung atau sebapak dari bapak dan seterusnya anggota keluarga laki-laki menurut garis keturunan patrilinial.24



2. Wali Hakim



Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila:



a. Calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.



b. Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya.



c. Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada.



d. Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masaful qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5 km.



e. Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai.



f. Wali sedang melakukan ibadah haji atau umroh.25



g. Anak Zina (dia hanya bernasab dengan ibunya).



h. Walinya gila atau fasik.26



Apabila terjadi hal-hal seperti diatas, maka wali hakim berhak untuk menggantikan wali nasab. Kecuali apabila wali nasabnya telah mewakilkan kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali sehingga orang lain yang diberikan kekuasaan untuk mewakilkan wali nasabnya berhak menjadi wali.



Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah KUA Kecamatan.



3. Wali Muhakkam



Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka.



Orang yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang terpandang, disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki.27



Apabila suatu pernikahan yang seharusnya dilaksanakan dengan wali hakim, padahal ditempat itu tidak ada wali hakimnya, maka pernikahan dilangsungkan dengan wali muhakkam. Caranya ialah kedua calon suami-istri mengangkat seorang yang mempunyai pengertian tentang hukum-hukum untuk menjadi wali dalam pernikahan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar